Selasa, 07 Juni 2016

asanmuholik



PENGERAHAN DAN PENINDASAN VERSUS PERLAWANAN
Makalah Ini Di Ajaukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Pelajaran                : Sejarah Indonesia
Guru Mata Pelajaran       : Rasto M.Pd



Di susun oleh klompok 4
Ketua                     : Asan Muholik
Anggota                : Alda Ainun
                                Mufah G
                                 Ibnu Malik
                                Syaiful Anwar 
Kelas           : XI IIS 2

SMA NEGERI 1 TERISI
INDRAMAYU
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan khadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunianya kami dapat menelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas kelompok mata pelajaran sejarah Indonesia pada SMA NEGERI 1 TERISI tahun pelajaran 2014-2015.
Dalam penyusunan tugas ini penyusun juga di bantu oleh berbagai pihak oleh karena itu saya juga meucapkan terimakasih kepada ;
1.     Rasto MP.d selaku guru mata pelajaran
2.     Rekan-rekan siswa kelas XI-IIS 2 SMA NEGERI 1 TERISI

Saya sudah menyusun tugas ini dengan sebaik-baiknya, tetepi kami juga mengharapkan saran dan keritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun sangat di harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang, mudah-mudahan tugas ini bermanfaat bagi penegmbangan wawasan kita semua khususnya dalam mata pelajaran sejarah Indonesia.







Terisi,   februari 2015


Penyusun


 
DAFTAR ISI

Kata pengantar
…………………………………………………….....
2
Daftar isi

……………………………………………………….
3
Bab 1 Kebijakan Ekonomi Jepang Di Indonesia


………………………………………………………...

4
Bab II Kebijakan Pengendalian Kegiatan Pendidikan Dan Kebudayaan


……………………………………………………….

7
Bab III Pengerahan Romusha

………………………………………………………..
9
BAB IV Dampak Tindakan Kekejaman Jepang Terhadap Kehidupan Rakyat


…………………………………………………………

12
Bab V Penutup
……………………………………………………….
15








BAB I
Kebijakan Ekonomi Jepang Di Indonesia
A.    Kebijakan Umum Pemerintah Jepang
Terakhirnya Pemerintahan Hindia-Belanda yang digantikan oleh Pemerintahan Jepang tentu disertai perubahan kebijakan. Pemerintah Jepang sangat memerlukan sumber daya untuk menunjang militernya dalam Perang Pasifik. Demi kelancaran dalam memperoleh sumber daya, Pemerintah Jepang pada awal kedatangannya membuat berbagai kebijakan yang menarik simpati rakyat Indonesia.
Bahasa Indonesia dan bendera merah putih tidak lagi dikekang oleh pemerintah. Pribumi yang berpendidikan mendapat jabatan di pemerintahan. Ulama pun digandeng oleh pemerintah Jepang, berbeda dengan pemerintah Hindia-Belanda yang kerap bersitegang dengan ulama. Upaya-upaya tersebut berhasil membuat rakyat Indonesia bersimpati.
Kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang adalah melarang kegiatan berkumpul dan dan rapat, tertuang dalam UU No. 2 yang diperkuat dalam UU No. 3 pada 20 Maret 1942, yang isinya melarang segala macam perbincangan, pergerakan, atau propaganda mengenai aturan dan susunan organisasi Negara (Lubis, 2004:150). Pergerakan politik rakyat Indonesia yang pada pemerintahan Hindia-Belanda begitu gencar menjadi terhambat pada pemerintahan Jepang. Pemerintah Jepang membuat berbagai badan untuk mengalihkan dan menumpulkan radikalisme dari partai politik yang ada sebelumnya.
Stratifikasi sosial pada pemerintahan Jepang berubah, Jepang berada di posisi teratas disusul oleh Timur Asing dan Indonesia pada lapis kedua, dan Belanda serta Eropa pada lapis ketiga, sebelumnya pada pemerintahan Hindia-Belanda Jepang berada di lapis kedua dan Belanda serta Eropa di lapis pertama. Penempatan orang Belanda dan Eropa pada lapis ketiga berdampak pada perkebunan yang telah mereka bangun. Perkebunan milik Belanda dan Eropa disita oleh Jepang. Berbagai kebijakan yang mengatur perkebunan dikeluarkan, seperti produksi, rehabilitasi, dan pemberian kredit (Lubis, 2004:152).
B.     Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jepang
Demi mencukupi kebutuhannya, Jepang mengeluarkan kebijakan ekonomi romusha. Sedikitnya terdapat dua ratus ribu orang pribumi dipekerjakan, kebanyakan dari pekerja itu bekerja sampai mati. Ribuan wanita Indonesia pun dipaksa untuk melayani tentara Jepang (disebut juga Jugun Ianfu) (Drakeley, 2005:69). Kebijakan romusha sangat merugikan rakyat, banyaknya pekerja yang terlibat menjadi romusha disebabkan ketidaktahuan mengenai apa sebenarnya romusha itu.
Sistem perekrutan diselenggarakan di desa-desa melalui lurah/kepala desa. Kondisi ekonomi yang serba sulit membuat dan iming-iming kehidupan yang lebih baik membuat rakyat melamar menjadi romusha. Tenaga kerja yang melamar menjadi romusha dipaksa bekerja di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan Jepang. Pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang berat, seperti pembangunan infrastruktur, lapangan terbang, benteng pantai, lubang perlindugan, parit perlindungan, dan pabrik amunisi (Kurosawa, 1993:144).
Romusha dalam kesepakatan mendapatkan bayaran sebesar F. 0.50/hari dan F. 30/bulan dikirim ke keluarga mereka. Pada praktiknya, romusha dibayar kurang dari kesepakatan atau bahkan tidak dibayar. Pembayaran di setiap tempat kerja paksa berbeda-beda, ada yang dibayar F. 0.14/hari hingga F. 1.00/hari. Namun, upah yang diterima oleh romusha tidak mencukupi biaya hidupnya, harga gabah/kg adalah F. 0.10 pada Maret 1944 (Kurosawa, 1993:149).
Kebijakan lainnya adalah, penekanan angka produksi perkebunan karena tidak berkaitan dengan kebutuhan perang, fokus utama Jepang adalah peningkatan produksi beras. Akibat kebijakan ini, produksi perkebunan yang tinggi pada masa Hindia-Belanda, menjadi turun drastis. Salah satunya adalah melemahnya industri gula. Industri gula melemah karena kebijakan pemerintah Jepang untuk mengurangi produksi gula yang telah direncanakan sejak awal kedatangan. Pengurangan ini dilakukian bertahap dan rahasia.
Semua perusahaan gula milik Belanda dan Eropa disita, kemudian Jepang menyerahkan pengelolaan industri gula kepada enam perusahaan milik Jepang. Enam perusahaan Jepang tersebut membawahi perusahaan-perusahaan Belanda dan Eropa. Jumlah perkebunan selama pendudukan Jepang terus berkurang, dari 85 (1942) menjadi 13 (1945).
Begitu pula dengan angka produksi, pada tahun 1942, produksi gula mencapai 1.325.802 ton, menurun drastis menjadi hanya 84.245 ton pada tahun 1945. Jumlah produksi pada tahun 1945 merupakan jumlah yang terburuk, lebih rendah dari masa Depresi (1935) yang mencapai 506.659 ton (Kurosawa, 1993:37-43). Tidak hanya produksi gula yang menurun, produksi karet karena produksi di Jawa dan Kalimantan terhenti hal yang sama juga tejadi pada komoditas teh (Ricklefs, 2001:249).
Kecenderungan penurunan produksi ini berdampak kepada para petani. Para petani yang memiliki tanah merasa diuntungkan dengan pengurangan produksi gula. Mereka tidak lagi disibukkan dengan irigasi dan pengembalian tanah, mereka dapat menaman padi. Kondisi yang berbeda dialami oleh petani yang tidak memiliki tanah, jumlahnya lebih banyak daripada petani yang memiliki tanah.
Mereka menggantungkan hidupnya dari upah perkebunan. Begitu produksi gula dikurangi, kehidupan mereka menjadi semakin sulit. Akibat, pengurangan produksi gula, jumlah pengangguran meningkat. Para pengangguran ini banyak dimobilisasi oleh kinro hoshi (tenaga kerja sukarela) untuk menjadi romusha (Kurosawa: 1993:47). Pilihan yang benar-benar sulit.
Terdapat usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi ini, pada Juli 1944, Fujinkai dan Kridodarmo membuatkan 200.000 baju untuk dihadiahkan kepada romusha, bahan pembuatan baju ini disediakan oleh Koochi Zimu Kyoku (Sinar Baroe, 15 Juli 1944:3). Perhatian bagi keluarga romusha pun berdatangan dari badan-badan bentukkan Jepang, pada bulan yang sama, keluarga dan anak-anak romusha diberikan sejumlah pakaian dan uang (Surakarta dan Surabaya) (Asia Raya, 15 Juli 1944:2).
Mereka pun diberikan pekerjaan untuk menambah hasil bumi atau membuat pakaian (Sinar Baroe, 29 Juli 1944:3). Kemudian pada September 1944, dukungan terhadap romusha juga muncul dari Chuoo Sangi in, yang menempatkan romusha sebagai prajurit ekonomi, artinya mereka layak diberi penghargaan sama seperti prajurit PETA dan Heiho.
Sebagai bukti penghargaan kepada romusha, di Pati diadakan sayembara untuk membuat sebuah model penghargaan yang nantinya akan ditempelkan di depan pintu rumah keluarga romusha, sama seperti yang diberikan pada prajurit Heiho (Sinar Baroe, 1 September 1944:1). Pada Februari 1945, terdapat gerakan menyempurnakan urusan pengerahan tenaga romusha, tujuan gerakan ini adalah untuk menyempurnakan romusha, salah satunya adalah dengan memperlakukan romusha dengan baik, seperti keluarga (Sinar Baroe, 19 Februari 1945:2). Pemberian penghargaan dan pelabelan romusha sebagai prajurit ekonomi sangat berkait dengan upaya Jepang untuk menyamarkan kondisi nyata romusha kepada dunia internasional.



BAB II
Kebijakan Pengendalian Kegiatan Pendidikan Dan Kebudayaan
A.    Kebijakan peendidikan
Pada awalnya menjelang kedatangan invansi militer Jepang masuk ke Indonesia,ada sebuah Sekolah Rakyat 3 tahun dan 6 tahun, yang diasuh oleh badan swasta yaitu suatu badan yang dibantu oleh gereja Dayak Evangelis khususnya di daerah Kalimantan.Sekolah yang diasuh oleh pihak swasta ini merupakan sekolah pada masa Belanda.Ketika Jepang masuk mereka menemukan sekolah swasta ini dan tetap berjalan dan guru-gurunya digaji secara natural oleh Jepang.Pemerintah Jepang mengambil alih semua sekolah tersebut.
Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang pendidikan adalah menghilangkan diskriminasi/perbedaan yang diterapkan Belanda. Pada pemerintahan Jepang, siapa saja boleh mengenyam/merasakan pendidikan. Rakyat dari lapisan manapun berhak untuk mengenyam pendidikan formal. Jepang pun juga menerapkan jenjang pendidikan formal seperti di negaranya yaitu: SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Dimana sistem ini masih diterapkan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini. Pelajaran utamanya yang paling intensif sekali diajarkan kepada anak-anak sekolah adalah setiap pagi sebelum memasuki kelas selalu diadakan upacara bendera megibarkan bendera Jepang dan penghormatan kearah matahari terbit.Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut dengan Taiso.
Disamping Taiso juga diharuskan bagi semua siswa melaksanakan lari berbaris sepanjang kampung yang pada waktu itu disebut Jajiasi. kemudian pelajaran berupa adu kekuatan juga diberikan seperti Sumo,yakini jenis permainan dorong menorong dengan tangan yang dibatasi oleh suatu lingkaran.Wibawa guru-guru pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia memang sangat dijaga,karena setiap siswa yang bertemu dengan guru harus hormat,pemerintahan Jepang memberikan ancaman kepada siswa yang tidak hormat dan berkebijakan untuk membuat siswa tunduk.
Dalam acara penaikan bendera Jepang semua siswa menyanyikan lagu kebangsaan Jepang yaitu Kimigayo. Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah sistem pengajaran dan kurikulum yang di sesuaikan untuk kepentingan perang. Siswa memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan mampu menghapal lagu kebangsaan Jepang.
Begitu pula dengan para gurunya, diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru wajib mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan.Kebijakan lain yang diterapkan Jepang yaitu para siswa termasuk guru-gurunya harus upacara dan menunduk kearah matahari terbit dengan cara rukuk atau (membungkuk)yang disebut upacara Seikeire.
Apabila bendera sedang dinaikkan tidak seorangpun boleh berjalan melaikan harus berhenti menghadap kebendera dan memberi hormat.Disamping diharuskan hormat kepada guru(sensei),maka setiap orangtua haru dihormati pula termasuk kepala kampung yang pada waktu itu dinamakan Sonco.
Usaha Jepang dalam menjepangkan rakyat Indonesia termasuk juga para siswa dilihat dengan adanya pelajaran bahasa Jepang meskipun dalam bentuk stensilan yang khusus disusun untuk mempelajari bahasa Jepang.Buku stensilan tersebut bernama Langkah pertama dan langkah kedua.Disamping mempelajari bahasa Jepang diajarkan pula huruf abjad Jepang.Sejak kelas satu mulai di perkenalkan huruf Jepang dari abjad Katagana,selanjutnya untuk kelas-kelas tinggi diajarkan abjad Hiragana dan kemudian abjad Kanji.
Dengan demikian,secara sistematis sekali pendudukan militer Jepang itu ingin menjepangkan anak-anak Indonesia mulai dengan bahasa hurufnya Sekolah Rakyat.Untuk keperluan menulis para siswa memakai batu tulis berwarna hitam.Untuk menanamkan semangat patriotisme dihati rakyar dalam hal menyanjung Perang Asia Timur Raya,pemerintah Jepang menciptakan lagu khusus tentang keberanian seorang Heiho yang diberinya judul Amat Heiho,ceritanya menyerang sekutu sampai harus rela tewas demi kejayaan negara Jepang.
Sekolah Rakyat 3 tahun pada waktu itu diberi nama Futu Gakko sedangkan Sekolah rakyat 6 tahun diberi nama Ku Gakko.Sekolah-sekolah baru tidak ada didirikan olh pemerintahan Jepang tapi hanya meneruskan sekolah-sekolah swasta saja.Selain itu bagi para siswa yang ingin melanjutka pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi,maka diberi kesempatan yang bernama Sihan Gakko.
Hal ini dapat dipahami,pendidikan yang diberikan Jepang pada rakyat pribumi semata-semata hanya untuk kepentingan Jepang,tanpa memikirkan kemajuan pendidikan rakyat pribumi,karena melalui pendidikan,pemerintahan Jepang mulai memasukkan rasa simpati kepada rakyat,terutama dalam mengenyam pendidikan,yang di zaman belanda untuk masuk Sekolah rakyat saja sangat susah,hanya orang tertentu saja yang diperbolehkan untuk sekolah.Sedangkan Jepang sebaliknya,namun tujuan sebenarnya untuk menjepangkan rakyat Indonesia dan rasa kecintaan kepada Jepang.[5]
B.        Kebijakan Kebudayaan
Pada masa Jepang, bidang pendidikan dan kebudayaan diperhatikan dan bahasa Indonesia mulai dipergunakan. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai pelajaran utama, sedangkan bahasa Jepang dijadikan sebagai bahasa wajib. Dengan semakin meluasnya penggunaan bahasa Indonesia, komunikasi antarsuku di Indonesia semakin intensif yang pada akhirnya semakin merekatkan keinginan untuk merdeka. Pada 1 April 1943 dibangun pusat kebudayaan di Jakarta, yang bernama “Keimin Bunka Shidoso”.
Kebijakan disini dapat kita lihat melalui penyerahan hasil panen berupa padi rakyat secara paksa,penyerahan ini tentulah menyengsarakan rakyat.Disebabkan keinginan Jepang bukan sekedar permintaan tapi merupakan tuntutan yang harus dipenuhi masyarakat.Begitulah kekajaman Jepang.Akibatnya banyak yang menderita kelaparan,rakyat menderita kemiskinan,menurunnya kesehatan masyarakat,keadaan sosial semakin memburuk,dalam hal pakaian,rakyat terpaksa memakai baju dari goni,sehingga banyak berjangkit penyakit kulit,serta angka kematian semakin meningkat.


BAB III
Pengerahan Romusha
Romusha adalah panggilan bagi orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta. Dalam sidangnya yang pertama, Chuo Sangi In mengusulkan beberapa syarat antara lain  supaya dibentuk badan-badan yang memotivasi rakyat menjadi tenaga sukarela, melalui kerja sama dengan bupati, wedana, camat dan kepala desa untuk pengerahan tenaga kerja (buruh) sekarela di perusahaan-perusahaan bala tentara Jepang.
Namun dalam pelaksanaannya persyaratan yang disampaikan oleh Chuo Sangi In itu diabaikan. Pada hakikatnya mereka tidak lebih dari pekerja paksa. Seperti halnya di Yogyakarta, tepatnya di desa Timbul Harjo, Bantul, pengerahan romusha dilakukan oleh perangkat desa dengan cara medatangi keluarga-keluarga yang memiliki tenaga potensial untuk dijadikan romusha. Keluarga yang menolak, mereka takut-takuti akan dikucilkan. Jika anak yang diminta itu tidak berada dirumah, mereka biasanya mencari ke sawah dan kalau sudah ketemu dibawa secara paksa ketempat pengerahan
Selama berada ditempat kerja sampai pulang ke kampong halamannya, ternyata romusha mendapat fasilitas sangat minim dan banyak yang tidak diberi upah, tetapi tidak dapat menuntut karena memang tidak ada perjanjian kerja tertulis. Mereka dikerahkan menjadi tenaga kerja paksa dan buruh yang diberi upah selayaknya.Sebelum penyerahan Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942, Jepang
telah memperhitungkan bahwa Pulau Jawa akan mampu menyediakan tenaga manusia dalam jumlah yang memadai untuk memenangkan perang. Perhitungan itu didasarkan atas kenyataan bahwa jumlah penduduk di Pulau Jawa sangat banyak, ditambah lagi dengan pertumbuhannya yang begitu pesat. Sehingga  Jepang tidak bakal mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha, karena disamping itu jumlah persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara paksa, dan tidak perlu banyak
pengeluaran biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu pula untuk mencari pengganti bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa terdapat persediaan manusia cukup banyak. Berdasarkan pola pemikiran itulah maka  Jepang denga leluasa memanfaatkan tenaga manusia yang ada di Pulau Jawa dan dengan matinya beribu-ribu romusha seakan-akan tidak menjadi beban
Mereka meninggal karena kekurangan makan, kelelahan, malaria dan terjangkit penyakit. Selain itu juga karena kerasnya pengawasan dan siksaan Jepang yang kejam dan tidak berperi kemanusiaan. Dibarak-barak romusha tidak tersedia perawatan dan tenaga kesehatan. Seakan-akan telah menjadi rumus bahwa siapa yang tidak lagi kuat bekerja maka akan mati.
Sebagai mana alam pemikiran jepang, bahwa bukan manusianya yang diperhitungkan melainkan tujuannya yaitu “menang perang”.
Para tenaga kerja yang disebut romusha atau jepang menyebutnya prajutit pekerja, diperlukan untuk membangun prasarana perang seperti kubu-kubu pertahanan, gudang senjata, jalan raya dan lapangan udara. Selain itu, mereka diperkejakan di pabrik-pabrik seperti pabrik garam dan pabrik kayu di Surabaya dan di Sumatera Selatan, mereka diperkejakan di pabrik pembuatan dinamit di Talangbetutu atau dipertambangan batu bara serta penyulingan minyak. Mereka diperkejakan pula dipelabuhan- pelabuhan antara lain memuat dan membongkar barang-barang dari kapal-kapal. Bahkan di desa Gendeng, dekat Badug, Yohyakarta misalnya romusha menanam sayuran dan palawija guna memenuhi kebutuhan makan Jepang dan romusha itu sendiri.
Pada umumnya mereka diperdapat dari desa-desa, terdiri dari pemuda petani dan penganggur. Pulau Jawa sebagai pulau yang padat penduduknya memungkinkan pengerahan tenaga tersebut secara besar-besaran. Pada mulanya tugas-tugas yang dilakukan bersifat sukarela dan pengerahan tenaga tersebut tidak begitu sukar dilakukan, karena orang masih terpengaruh propaganda “ intik kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Bahkan, dibeberapa kota terdapat barisan-barisan romusha untuk bekerja ditempat-tempat dan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, dalam bulan September 1944 sejumlah 500 orang romusha sukarela, yang terdiri dari pegawai tinggi dan menengah serta golongan terpelajar di bawah pimpinan Ir Soekarno berangkat dari kantor besar Jawa Hokokai dengan berjalan kaki ke stasiun tanah abang, Jakarta diiringi orkes suling Maluku. Di antara mereka juga terdapat pula orang Cina, Arab, dan India. Rombongan diikuti pula oleh anggota yang sudah berumur 60 tahun, sehingga Soekarno memuji mereka sebagai masih kuat seperti orang muda.
Lama-kelamaan karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh Asia Tenggara, pengerahan tenaga yang bersifat sukarela seperti yang telah diteladani oleh Soekarno itu, berubah manjadi paksaan. Pemerintah
Tentara Ke-16 membentuk suatu badan kusus yang melaksanakan pengerahan  romusha secara besar-besaran pada tahun 1944. Badan ini disebut Romukyoku
Romukyoku membuat peraturan sebagai berikut : orang atau badan yang membutuhkan tenaga romusha lebih dari 30 orang diharuskan mengajukan permohonan kepada kepala daerah setempat. Sipemohon, baik orang maupun badan, harus memiliki perusahaan atau pabrik yang bermanfaat untuk kepentingan perang. Bahkan, banyak di antara petugas pengerahan romusha bersikap curang, seperti mencoret nama yang sudah terdaftar dan menggantikan dengan nama lain karena menerima suap sejumlah uang. Sebaliknya, ada pula kepala desa yang menunjuk seorang yang menjadi romusha sebagai tindakan balas dendam atau rasa tidak suka. Dengan uang pula, seseorang yang sudah terdaftar sebagai romusha dapat menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
Romusha yang diperkejakan di proyek-proyek, antara lain pembuatan jalan, jembatan, barak-barak militer, berlangsung selama satu sampai tiga bulan. Lebih dari tiga bulan merupakan masa kerja romusha yang
diperkejakan di proyek-proyek diluar keresidenan mereka. Tidak hanya keluar Jawa, bahkan eomusha dikirim ke luar Indonesia, seperti Birma, Muang, Tgai, Vietnam dan Malaysia.
Tidak sesuai dengan usul yang disampaikan oleh anggota Chuo Sangi In agar para romusha diperlakukan secara layak, ternyata mereka diperlakukan sangat buruk. Sejak pagi buta sampai petang hari mereka
dipaksa melakukan pekerjaan kasar tanpa makan dan perawatan cukup, membuat kondisi fisik mereka menjadi sangat lemah dan mereka gampir tidak punya sisa kekuatan. Jika ada diantara mereka yang beristirahat sekalipun hanya sebentar, hal itu akan mengundang maki-makian dan pukulan-pukulan dari pengawas mereka orang Jepang. Hanya pada malam hari mereka berkesempatan melepaskan lelah. Dalam keadaan demikian, mereka tidak punya daya tahan lagi terhadap penyakit. Karena tidak sempat
memasak air minum, sedangkan buang air di sembarang tempat, berjangkitnya wabah disentri, karena tidak dapat menghindari diri dari serangan nyamuk, banyak diantara mereka yang diserang malaria.



BAB IV
Dampak Tindakan Kekejaman Jepang Terhadap Kehidupan Rakyat
Danpak kehadiran dan kekejaman pemerintah militer jepang yang berlangsung tidak lebih dari empat tahun itu, selain meninggalkan kebencian karena kekejaman dan kerakusanya juga meninggalkan kenangan positif. Bagai mana mereka di ikut sertakan dalam kehidupan politik. Struktur birokrasi pemerintahan tidak didominasi penjajahan seperti halnya zaman belanda. Melainkan untuk posisi-posis menengah ke bawah di serukan pada rakyat pribumi.
Perkembanggan yang terjadi menujukan adanya peningkatan kesadaran politik secara besar-besaran dan keinginan untuk merdeka secara politik. Pemerintah jepang yang kejam, kasar, dan sewenag-wenang memepngaruhi hampir seluruh penduduk. Pemerintah jepang membangkitkan kesadaran akan penderitaan masyarakat.
Propaganda jepang juga memepngaruhi rakyat agar benci terhadap belanda dan sekutu, hanya sedikit saja berhasil. Usaha menyamakan kepentingan jepang dengan kepentingan Indonesia sepenuhnya gagal, justu yang terjadi sebaliknya. Keinginan rakyat untuk merdeka semakin besar, apalagi bagi mereka yang memperoleh posisi yang kuat berbeda dengan keadaan di zaman penejajahan belanda dahulu
1.      Dampak terhadap Kehidupan Ekonomi
Pendudukan Jepang membawa dampak yang besar terhadap kehidupan ekonomi Indonesia. Ketika Jepang menduduki Indonesia, objek-objek vitak alat-alat produksi telah hancur sehingga pada awal pendudukan Jepang sebagian besar kehidupan ekonomi lumpuh. Pemerintah pendudukan Jepang mulai mengeluarkan peraturan-peraturan untuk menjalankan roda ekonomi. Pengawasan terhadap peredaran dan penggunaan sisasisa persedian barang diperketat. Untuk mencegah meningkatnya harga barang, dikeluarkan peraturan pengendalian harga dan dijatuhkan hukuman berat bagi pelanggarnya.
Pemerintah Jepang mengembangkan pola Ekonomi Perang di mana setiap wilayah harus melaksanakan autarki, artinya setiap daerah harus memenuhi kebutuhannya sendiri dan memenuhi kebutuhan perang. Tuntutan kebutuhan pangan pada tahun 1942 semakin meningkat. Pengerahan kebutuhan perang semakin meningkat. Dilancarkanlah kampanye pengerahan dan penambahan bahan pangan secara besar-besaran. Rakyat dituntut untuk menaikkan produksi tanaman jarak dan menjadi pekerja romusha.
2.      Dampak terhadap Mobilitas Sosial
Di samping menguras sumber daya alam, Jepang juga melakukan eksploitasi tenaga manusia. Puluhan hingga ratusan penduduk dikerahkan untuk kerja paksa guna membangun sarana dan prasarana perang. Mereka dipaksa bekerja keras sepanjang hari tanpa diberi upah, makan pun sangat terbatas, sehingga banyak yang kelaparan, sakit dan meninggal. Untuk mengerahkan tenaga kerja, tiap-tiap desa dibentuk panitia pengerahan tenaga yang disebut Rumokyokai. Jepang memobilisasi para pemuda untuk membentuk tentara cadangan, yang diharapkan membantu Jepang melawan Sekutu.
Pengerahan tenaga di desa-desa, menimbulkan perubahan sosial yang luas. Para romusha yang berhasil melarikan diri kembali ke desanya masing-masing membawa pengalaman baru dan membuka isolasi desa. Pada Januari 1944, Jepang memperkenalkan sistem tonarigumi (rukun tetangga). Tonarigumi merupakan kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 10-20 rumah tangga. Sistem tonarigumi ini bertujuan mengawasi aktivitas penduduk yang dicurigai. Untuk situasi perang, tonarigumi difungsikan untuk latihan pencegahan bahaya udara, kebakaran, pemberantasan kabar bohong dan mata-mata musuh.
3.      Dampak dalam Bidang Birokrasi
Setelah Jepang berhasil menguasai wilayah Indonesia maka Jepang segera membagi wilayah Indonesia, dalam tiga pemerintahan militer pendudukan sebagai berikut.
a)      Wilayah I, meliputi Jawa dan Madura, yang diperintah oleh angkatan darat yang berpusat di Jakarta (Tentara Keenam Belas).
b)      Wilayah II, meliputi Sumatera seluruhnya, diperintah oleh angkatan darat yang berpusat di Bukittinggi (Tentara Kedua Puluh Lima).
c)      Wilayah III, meliputi Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku yang Diperintah oleh angkatan laut yang berpusat di Makasar (Armada Selatan Kedua).
Masing–masing ketiga wilayah itu dipimpin oleh kepala staf tentara/armada dengan gelar gunseikan (kepala pemerintahan militer) dan kantornya disebut gunseikanbu. Usaha membentuk pemerintahan militer pendudukan sementara ternyata banyak mengalami kesulitan karena Jepang kekurangan staf pegawai– pegawainya. Dengan demikian, Jepang terpaksa mengangkat pegawai dari bangsa Indonesia.
Pada saat pemerintahan sementara tersebut, orang–orang Indonesia banyak menduduki jabatan– jabatan tinggi. Namun demikian, pada Agustus 1942 masa pemerintahan militer sementara berakhir. Jepang telah mengirimkan tenaga pemerintahan sipil ke Indonesia. Sejak itu, jabatan–jabatan penting yang diduduki oleh orang Indonesia mulai diganti.
Pada pertengahan 1943 kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik mulai terdesak, maka jepang kembali memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia, untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan. Untuk itu, pada 5 September 1943 Jepang membentuk Badan Pertimbangan Keresidenan (Syu Sang Kai) dan Badan Pertimbangan Kotapraja Istimewa (Syi Sang In).
Banyak orang Indonesia yang menduduki jabatan–jabatan tinggi dalam pemerintahan, antara lain: Prof. Husein Djajadiningrat sebagai kepala Departemen Urusan Agama, Sutarjo Kartohadikusumo sebagai kepala pemerintahan (syucokan) di Jakarta, dan R.M.T.A Suria sebagai kepala pemerintahan (syucokan) di Bojonegoro. Di samping itu ada 7 orang Indonesia yang menduduki jabatan sebagai penasehat pada pemerintahan militer, di antaranya: Ir. Soekarno (Departemen Urusan Umum), Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid (Departemen Urusan Dalam Negeri), Prof. Dr. Mr. Supomo (Departemen Kehakiman), Mochtar bin Prabu Mangkunegara (Departemen Lalu Lintas), Mr. Muh. Yamin (Departemen Propaganda), dan Prawoto Sumodiloyo (Departemen Ekonomi).
Dengan demikian pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak yang sangat besar, dalam birokrasi pemerintahan. Selama zaman Hindia Belanda, jabatan–jabatan penting dalam pemerintahan tidak pernah diberikan kepada Indonesia.



BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu :
Ø  Tujuan Jepang dating ke Indonesia adalah untuk mendapatkan dukungan dan mencari kekuasaan di asia
Ø  Jepang mempkerja paksakan orang-orang pribumi yang di sebut (romusa) dengan tidak memberi upah
Ø  Jepang menerapkan jenjang pendidikan formal di Indonesia seperti di negaranya yaitu: SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun.
Ø  Jepang juga meninggalkan danpak bagi bangsa Indonesia baik dampak negative maupun dampak positif diantaranya :
a)      Dampak terhadap Kehidupan Ekonomi
b)      Dampak terhadap Mobilitas Sosial
c)      Dampak dalam Bidang Birokrasi
Saran
Dari makalah ini pembaca telah mengetahui tentang betapa berat perjuangan bangsa Indonesia dalam mendapat kemerdekaan, jadi sebagai generasi penerus bangsa kita harus menghargai perjuangan pahlawan kita yang dengan susah payah merebut kemerdekaan dari penjajah.


semoga bisa bermanfaat baut kalian yang sedang menempuh pendidikan, maupun cuma untuk menambah wawasan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar