PENGERAHAN DAN
PENINDASAN VERSUS PERLAWANAN
Makalah Ini Di Ajaukan
Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata
Pelajaran : Sejarah Indonesia
Guru
Mata Pelajaran : Rasto M.Pd
Di
susun oleh klompok 4
Ketua : Asan Muholik
Anggota :
Alda Ainun
Mufah G
Ibnu Malik
Syaiful Anwar
Kelas : XI IIS 2
SMA
NEGERI 1 TERISI
INDRAMAYU
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan khadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunianya kami dapat menelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah
ini di susun untuk memenuhi tugas kelompok mata pelajaran sejarah Indonesia
pada SMA NEGERI 1 TERISI tahun pelajaran 2014-2015.
Dalam penyusunan tugas ini
penyusun juga di bantu oleh berbagai pihak oleh karena itu saya juga meucapkan
terimakasih kepada ;
1. Rasto MP.d selaku guru mata
pelajaran
2. Rekan-rekan siswa kelas XI-IIS 2
SMA NEGERI 1 TERISI
Saya
sudah menyusun tugas ini dengan sebaik-baiknya, tetepi kami juga mengharapkan
saran dan keritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun sangat di
harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang, mudah-mudahan tugas ini
bermanfaat bagi penegmbangan wawasan kita semua khususnya dalam mata pelajaran
sejarah Indonesia.
Terisi, februari 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
|
Kata
pengantar
|
…………………………………………………….....
|
2
|
|
Daftar
isi
|
……………………………………………………….
|
3
|
|
Bab 1
Kebijakan Ekonomi Jepang Di Indonesia
|
………………………………………………………...
|
4
|
|
Bab II
Kebijakan Pengendalian Kegiatan Pendidikan Dan Kebudayaan
|
……………………………………………………….
|
7
|
|
Bab III
Pengerahan Romusha
|
………………………………………………………..
|
9
|
|
BAB IV Dampak Tindakan Kekejaman Jepang Terhadap
Kehidupan Rakyat
|
…………………………………………………………
|
12
|
|
Bab V Penutup
|
……………………………………………………….
|
15
|
BAB
I
Kebijakan
Ekonomi Jepang Di Indonesia
A.
Kebijakan Umum Pemerintah Jepang
Terakhirnya Pemerintahan
Hindia-Belanda yang digantikan oleh Pemerintahan Jepang tentu disertai
perubahan kebijakan. Pemerintah Jepang sangat memerlukan sumber daya untuk
menunjang militernya dalam Perang Pasifik. Demi kelancaran dalam memperoleh
sumber daya, Pemerintah Jepang pada awal kedatangannya membuat berbagai
kebijakan yang menarik simpati rakyat Indonesia.
Bahasa
Indonesia dan bendera merah putih tidak lagi dikekang oleh pemerintah. Pribumi
yang berpendidikan mendapat jabatan di pemerintahan. Ulama pun digandeng oleh
pemerintah Jepang, berbeda dengan pemerintah Hindia-Belanda yang kerap
bersitegang dengan ulama. Upaya-upaya tersebut berhasil membuat rakyat
Indonesia bersimpati.
Kebijakan pertama yang
dikeluarkan oleh pemerintah Jepang adalah melarang kegiatan berkumpul dan dan
rapat, tertuang dalam UU No. 2 yang diperkuat dalam UU No. 3 pada 20 Maret
1942, yang isinya melarang segala macam perbincangan, pergerakan, atau propaganda
mengenai aturan dan susunan organisasi Negara (Lubis, 2004:150). Pergerakan
politik rakyat Indonesia yang pada pemerintahan Hindia-Belanda begitu gencar
menjadi terhambat pada pemerintahan Jepang. Pemerintah Jepang membuat berbagai
badan untuk mengalihkan dan menumpulkan radikalisme dari partai politik yang
ada sebelumnya.
Stratifikasi
sosial pada pemerintahan Jepang berubah, Jepang berada di posisi teratas
disusul oleh Timur Asing dan Indonesia pada lapis kedua, dan Belanda serta
Eropa pada lapis ketiga, sebelumnya pada pemerintahan Hindia-Belanda Jepang
berada di lapis kedua dan Belanda serta Eropa di lapis pertama. Penempatan
orang Belanda dan Eropa pada lapis ketiga berdampak pada perkebunan yang telah
mereka bangun. Perkebunan milik Belanda dan Eropa disita oleh Jepang. Berbagai
kebijakan yang mengatur perkebunan dikeluarkan, seperti produksi, rehabilitasi,
dan pemberian kredit (Lubis, 2004:152).
B.
Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jepang
Demi mencukupi
kebutuhannya, Jepang mengeluarkan kebijakan ekonomi romusha. Sedikitnya
terdapat dua ratus ribu orang pribumi dipekerjakan, kebanyakan dari pekerja itu
bekerja sampai mati. Ribuan wanita Indonesia pun dipaksa untuk melayani tentara
Jepang (disebut juga Jugun Ianfu) (Drakeley, 2005:69). Kebijakan romusha sangat
merugikan rakyat, banyaknya pekerja yang terlibat menjadi romusha disebabkan
ketidaktahuan mengenai apa sebenarnya romusha itu.
Sistem
perekrutan diselenggarakan di desa-desa melalui lurah/kepala desa. Kondisi
ekonomi yang serba sulit membuat dan iming-iming kehidupan yang lebih baik
membuat rakyat melamar menjadi romusha. Tenaga kerja yang melamar menjadi
romusha dipaksa bekerja di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan Jepang.
Pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang berat, seperti pembangunan
infrastruktur, lapangan terbang, benteng pantai, lubang perlindugan, parit
perlindungan, dan pabrik amunisi (Kurosawa, 1993:144).
Romusha dalam
kesepakatan mendapatkan bayaran sebesar F. 0.50/hari dan F. 30/bulan dikirim ke
keluarga mereka. Pada praktiknya, romusha dibayar kurang dari kesepakatan atau
bahkan tidak dibayar. Pembayaran di setiap tempat kerja paksa berbeda-beda, ada
yang dibayar F. 0.14/hari hingga F. 1.00/hari. Namun, upah yang diterima oleh
romusha tidak mencukupi biaya hidupnya, harga gabah/kg adalah F. 0.10 pada
Maret 1944 (Kurosawa, 1993:149).
Kebijakan
lainnya adalah, penekanan angka produksi perkebunan karena tidak berkaitan
dengan kebutuhan perang, fokus utama Jepang adalah peningkatan produksi beras.
Akibat kebijakan ini, produksi perkebunan yang tinggi pada masa Hindia-Belanda,
menjadi turun drastis. Salah satunya adalah melemahnya industri gula. Industri
gula melemah karena kebijakan pemerintah Jepang untuk mengurangi produksi gula
yang telah direncanakan sejak awal kedatangan. Pengurangan ini dilakukian
bertahap dan rahasia.
Semua
perusahaan gula milik Belanda dan Eropa disita, kemudian Jepang menyerahkan
pengelolaan industri gula kepada enam perusahaan milik Jepang. Enam perusahaan
Jepang tersebut membawahi perusahaan-perusahaan Belanda dan Eropa. Jumlah
perkebunan selama pendudukan Jepang terus berkurang, dari 85 (1942) menjadi 13
(1945).
Begitu pula
dengan angka produksi, pada tahun 1942, produksi gula mencapai 1.325.802 ton,
menurun drastis menjadi hanya 84.245 ton pada tahun 1945. Jumlah produksi pada
tahun 1945 merupakan jumlah yang terburuk, lebih rendah dari masa Depresi
(1935) yang mencapai 506.659 ton (Kurosawa, 1993:37-43). Tidak hanya produksi
gula yang menurun, produksi karet karena produksi di Jawa dan Kalimantan terhenti
hal yang sama juga tejadi pada komoditas teh (Ricklefs, 2001:249).
Kecenderungan
penurunan produksi ini berdampak kepada para petani. Para petani yang memiliki
tanah merasa diuntungkan dengan pengurangan produksi gula. Mereka tidak lagi
disibukkan dengan irigasi dan pengembalian tanah, mereka dapat menaman padi.
Kondisi yang berbeda dialami oleh petani yang tidak memiliki tanah, jumlahnya
lebih banyak daripada petani yang memiliki tanah.
Mereka
menggantungkan hidupnya dari upah perkebunan. Begitu produksi gula dikurangi,
kehidupan mereka menjadi semakin sulit. Akibat, pengurangan produksi gula,
jumlah pengangguran meningkat. Para pengangguran ini banyak dimobilisasi oleh
kinro hoshi (tenaga kerja sukarela) untuk menjadi romusha (Kurosawa: 1993:47).
Pilihan yang benar-benar sulit.
Terdapat
usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi ini, pada Juli 1944, Fujinkai dan
Kridodarmo membuatkan 200.000 baju untuk dihadiahkan kepada romusha, bahan
pembuatan baju ini disediakan oleh Koochi Zimu Kyoku (Sinar Baroe, 15 Juli 1944:3).
Perhatian bagi keluarga romusha pun berdatangan dari badan-badan bentukkan
Jepang, pada bulan yang sama, keluarga dan anak-anak romusha diberikan sejumlah
pakaian dan uang (Surakarta dan Surabaya) (Asia Raya, 15 Juli 1944:2).
Mereka pun
diberikan pekerjaan untuk menambah hasil bumi atau membuat pakaian (Sinar
Baroe, 29 Juli 1944:3). Kemudian pada September 1944, dukungan terhadap romusha
juga muncul dari Chuoo Sangi in, yang menempatkan romusha sebagai prajurit
ekonomi, artinya mereka layak diberi penghargaan sama seperti prajurit PETA dan
Heiho.
Sebagai bukti
penghargaan kepada romusha, di Pati diadakan sayembara untuk membuat sebuah
model penghargaan yang nantinya akan ditempelkan di depan pintu rumah keluarga
romusha, sama seperti yang diberikan pada prajurit Heiho (Sinar Baroe, 1
September 1944:1). Pada Februari 1945, terdapat gerakan menyempurnakan urusan
pengerahan tenaga romusha, tujuan gerakan ini adalah untuk menyempurnakan
romusha, salah satunya adalah dengan memperlakukan romusha dengan baik, seperti
keluarga (Sinar Baroe, 19 Februari 1945:2). Pemberian penghargaan dan pelabelan
romusha sebagai prajurit ekonomi sangat berkait dengan upaya Jepang untuk
menyamarkan kondisi nyata romusha kepada dunia internasional.
BAB II
Kebijakan Pengendalian Kegiatan
Pendidikan Dan Kebudayaan
A.
Kebijakan peendidikan
Pada
awalnya menjelang kedatangan invansi militer Jepang masuk ke Indonesia,ada
sebuah Sekolah Rakyat 3 tahun dan 6 tahun, yang diasuh oleh badan swasta yaitu
suatu badan yang dibantu oleh gereja Dayak Evangelis khususnya di daerah
Kalimantan.Sekolah yang diasuh oleh pihak swasta ini merupakan sekolah pada
masa Belanda.Ketika Jepang masuk mereka menemukan sekolah swasta ini dan tetap
berjalan dan guru-gurunya digaji secara natural oleh Jepang.Pemerintah Jepang
mengambil alih semua sekolah tersebut.
Kebijakan
yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang pendidikan adalah menghilangkan
diskriminasi/perbedaan yang diterapkan Belanda. Pada pemerintahan Jepang, siapa
saja boleh mengenyam/merasakan pendidikan. Rakyat dari lapisan manapun berhak
untuk mengenyam pendidikan formal. Jepang pun juga menerapkan jenjang
pendidikan formal seperti di negaranya yaitu: SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3
tahun. Dimana sistem ini masih diterapkan oleh pemerintah Indonesia sampai saat
ini. Pelajaran utamanya yang paling intensif sekali diajarkan kepada anak-anak
sekolah adalah setiap pagi sebelum memasuki kelas selalu diadakan upacara
bendera megibarkan bendera Jepang dan penghormatan kearah matahari
terbit.Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut dengan
Taiso.
Disamping
Taiso juga diharuskan bagi semua siswa melaksanakan lari berbaris sepanjang
kampung yang pada waktu itu disebut Jajiasi. kemudian pelajaran berupa adu
kekuatan juga diberikan seperti Sumo,yakini jenis permainan dorong menorong
dengan tangan yang dibatasi oleh suatu lingkaran.Wibawa guru-guru pada masa
pemerintahan Jepang di Indonesia memang sangat dijaga,karena setiap siswa yang
bertemu dengan guru harus hormat,pemerintahan Jepang memberikan ancaman kepada
siswa yang tidak hormat dan berkebijakan untuk membuat siswa tunduk.
Dalam
acara penaikan bendera Jepang semua siswa menyanyikan lagu kebangsaan Jepang
yaitu Kimigayo. Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah sistem
pengajaran dan kurikulum yang di sesuaikan untuk kepentingan perang. Siswa
memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan mampu menghapal lagu
kebangsaan Jepang.
Begitu
pula dengan para gurunya, diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan
Indonesia sebagai pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu
para guru wajib mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan.Kebijakan lain
yang diterapkan Jepang yaitu para siswa termasuk guru-gurunya harus upacara dan
menunduk kearah matahari terbit dengan cara rukuk atau (membungkuk)yang disebut
upacara Seikeire.
Apabila
bendera sedang dinaikkan tidak seorangpun boleh berjalan melaikan harus
berhenti menghadap kebendera dan memberi hormat.Disamping diharuskan hormat
kepada guru(sensei),maka setiap orangtua haru dihormati pula termasuk kepala
kampung yang pada waktu itu dinamakan Sonco.
Usaha
Jepang dalam menjepangkan rakyat Indonesia termasuk juga para siswa dilihat
dengan adanya pelajaran bahasa Jepang meskipun dalam bentuk stensilan yang
khusus disusun untuk mempelajari bahasa Jepang.Buku stensilan tersebut bernama
Langkah pertama dan langkah kedua.Disamping mempelajari bahasa Jepang diajarkan
pula huruf abjad Jepang.Sejak kelas satu mulai di perkenalkan huruf Jepang dari
abjad Katagana,selanjutnya untuk kelas-kelas tinggi diajarkan abjad Hiragana
dan kemudian abjad Kanji.
Dengan
demikian,secara sistematis sekali pendudukan militer Jepang itu ingin
menjepangkan anak-anak Indonesia mulai dengan bahasa hurufnya Sekolah
Rakyat.Untuk keperluan menulis para siswa memakai batu tulis berwarna
hitam.Untuk menanamkan semangat patriotisme dihati rakyar dalam hal menyanjung
Perang Asia Timur Raya,pemerintah Jepang menciptakan lagu khusus tentang
keberanian seorang Heiho yang diberinya judul Amat Heiho,ceritanya menyerang
sekutu sampai harus rela tewas demi kejayaan negara Jepang.
Sekolah
Rakyat 3 tahun pada waktu itu diberi nama Futu Gakko sedangkan Sekolah rakyat 6
tahun diberi nama Ku Gakko.Sekolah-sekolah baru tidak ada didirikan olh
pemerintahan Jepang tapi hanya meneruskan sekolah-sekolah swasta saja.Selain
itu bagi para siswa yang ingin melanjutka pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi,maka diberi kesempatan yang bernama Sihan Gakko.
Hal
ini dapat dipahami,pendidikan yang diberikan Jepang pada rakyat pribumi
semata-semata hanya untuk kepentingan Jepang,tanpa memikirkan kemajuan
pendidikan rakyat pribumi,karena melalui pendidikan,pemerintahan Jepang mulai
memasukkan rasa simpati kepada rakyat,terutama dalam mengenyam pendidikan,yang
di zaman belanda untuk masuk Sekolah rakyat saja sangat susah,hanya orang
tertentu saja yang diperbolehkan untuk sekolah.Sedangkan Jepang
sebaliknya,namun tujuan sebenarnya untuk menjepangkan rakyat Indonesia dan rasa
kecintaan kepada Jepang.[5]
B.
Kebijakan Kebudayaan
Pada masa Jepang, bidang
pendidikan dan kebudayaan diperhatikan dan bahasa Indonesia mulai dipergunakan.
Bahasa Indonesia dijadikan sebagai pelajaran utama, sedangkan bahasa Jepang
dijadikan sebagai bahasa wajib. Dengan semakin meluasnya penggunaan bahasa Indonesia,
komunikasi antarsuku di Indonesia semakin intensif yang pada akhirnya semakin
merekatkan keinginan untuk merdeka. Pada 1 April 1943 dibangun pusat kebudayaan
di Jakarta, yang bernama “Keimin Bunka Shidoso”.
Kebijakan disini dapat kita lihat
melalui penyerahan hasil panen berupa padi rakyat secara paksa,penyerahan ini
tentulah menyengsarakan rakyat.Disebabkan keinginan Jepang bukan sekedar
permintaan tapi merupakan tuntutan yang harus dipenuhi masyarakat.Begitulah
kekajaman Jepang.Akibatnya banyak yang menderita kelaparan,rakyat menderita
kemiskinan,menurunnya kesehatan masyarakat,keadaan sosial semakin
memburuk,dalam hal pakaian,rakyat terpaksa memakai baju dari goni,sehingga
banyak berjangkit penyakit kulit,serta angka kematian semakin meningkat.
BAB III
Pengerahan Romusha
Romusha
adalah panggilan bagi orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada
masa penjajahan Jepang di indonesia dari tahun 1942 hingga 1945.
Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang
mewajibkan para petani menjadi romusha. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha
tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta.
Dalam sidangnya yang pertama, Chuo Sangi In mengusulkan beberapa syarat
antara lain supaya dibentuk badan-badan yang memotivasi rakyat menjadi
tenaga sukarela, melalui kerja sama dengan bupati, wedana, camat dan
kepala desa untuk pengerahan tenaga kerja (buruh) sekarela di
perusahaan-perusahaan bala tentara Jepang.
Namun
dalam pelaksanaannya persyaratan yang disampaikan oleh Chuo Sangi In itu
diabaikan. Pada hakikatnya mereka tidak lebih dari pekerja paksa. Seperti
halnya di Yogyakarta, tepatnya di desa Timbul Harjo, Bantul, pengerahan romusha
dilakukan oleh perangkat desa dengan cara medatangi keluarga-keluarga yang
memiliki tenaga potensial untuk dijadikan romusha. Keluarga yang menolak,
mereka takut-takuti akan dikucilkan. Jika anak yang diminta itu tidak berada
dirumah, mereka biasanya mencari ke sawah dan kalau sudah ketemu dibawa secara
paksa ketempat pengerahan
Selama
berada ditempat kerja sampai pulang ke kampong halamannya, ternyata romusha
mendapat fasilitas sangat minim dan banyak yang tidak diberi upah, tetapi tidak
dapat menuntut karena memang tidak ada perjanjian kerja tertulis. Mereka
dikerahkan menjadi tenaga kerja paksa dan buruh yang diberi upah
selayaknya.Sebelum penyerahan Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942,
Jepang
telah
memperhitungkan bahwa Pulau Jawa akan mampu menyediakan tenaga manusia dalam
jumlah yang memadai untuk memenangkan perang. Perhitungan itu didasarkan atas
kenyataan bahwa jumlah penduduk di Pulau Jawa sangat banyak, ditambah lagi
dengan pertumbuhannya yang begitu pesat. Sehingga Jepang tidak bakal
mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha, karena disamping
itu jumlah persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara
paksa, dan tidak perlu banyak
pengeluaran
biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu pula untuk mencari pengganti
bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa terdapat persediaan manusia cukup
banyak. Berdasarkan pola pemikiran itulah maka Jepang denga leluasa
memanfaatkan tenaga manusia yang ada di Pulau Jawa dan dengan matinya
beribu-ribu romusha seakan-akan tidak menjadi beban
Mereka
meninggal karena kekurangan makan, kelelahan, malaria dan terjangkit penyakit.
Selain itu juga karena kerasnya pengawasan dan siksaan Jepang yang kejam dan
tidak berperi kemanusiaan. Dibarak-barak romusha tidak tersedia perawatan dan
tenaga kesehatan. Seakan-akan telah menjadi rumus bahwa siapa yang tidak lagi
kuat bekerja maka akan mati.
Sebagai
mana alam pemikiran jepang, bahwa bukan manusianya yang diperhitungkan
melainkan tujuannya yaitu “menang perang”.
Para
tenaga kerja yang disebut romusha atau jepang menyebutnya prajutit pekerja,
diperlukan untuk membangun prasarana perang seperti kubu-kubu pertahanan,
gudang senjata, jalan raya dan lapangan udara. Selain itu, mereka diperkejakan
di pabrik-pabrik seperti pabrik garam dan pabrik kayu di Surabaya dan di
Sumatera Selatan, mereka diperkejakan di pabrik pembuatan dinamit di
Talangbetutu atau dipertambangan batu bara serta penyulingan minyak. Mereka
diperkejakan pula dipelabuhan- pelabuhan antara lain memuat dan membongkar
barang-barang dari kapal-kapal. Bahkan di desa Gendeng, dekat Badug, Yohyakarta
misalnya romusha menanam sayuran dan palawija guna memenuhi kebutuhan makan
Jepang dan romusha itu sendiri.
Pada
umumnya mereka diperdapat dari desa-desa, terdiri dari pemuda petani dan
penganggur. Pulau Jawa sebagai pulau yang padat penduduknya memungkinkan
pengerahan tenaga tersebut secara besar-besaran. Pada mulanya tugas-tugas yang
dilakukan bersifat sukarela dan pengerahan tenaga tersebut tidak begitu sukar
dilakukan, karena orang masih terpengaruh propaganda “ intik kemakmuran bersama
Asia Timur Raya. Bahkan, dibeberapa kota terdapat barisan-barisan romusha untuk
bekerja ditempat-tempat dan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, dalam bulan
September 1944 sejumlah 500 orang romusha sukarela, yang terdiri dari pegawai
tinggi dan menengah serta golongan terpelajar di bawah pimpinan Ir Soekarno
berangkat dari kantor besar Jawa Hokokai dengan berjalan kaki ke stasiun tanah
abang, Jakarta diiringi orkes suling Maluku. Di antara mereka juga terdapat
pula orang Cina, Arab, dan India. Rombongan diikuti pula oleh anggota yang
sudah berumur 60 tahun, sehingga Soekarno memuji mereka sebagai masih kuat
seperti orang muda.
Lama-kelamaan
karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh Asia Tenggara, pengerahan
tenaga yang bersifat sukarela seperti yang telah diteladani oleh Soekarno itu,
berubah manjadi paksaan. Pemerintah
Tentara
Ke-16 membentuk suatu badan kusus yang melaksanakan pengerahan romusha
secara besar-besaran pada tahun 1944. Badan ini disebut Romukyoku
Romukyoku
membuat peraturan sebagai berikut : orang atau badan yang membutuhkan tenaga
romusha lebih dari 30 orang diharuskan mengajukan permohonan kepada kepala
daerah setempat. Sipemohon, baik orang maupun badan, harus memiliki perusahaan
atau pabrik yang bermanfaat untuk kepentingan perang. Bahkan, banyak di antara
petugas pengerahan romusha bersikap curang, seperti mencoret nama yang sudah
terdaftar dan menggantikan dengan nama lain karena menerima suap sejumlah uang.
Sebaliknya, ada pula kepala desa yang menunjuk seorang yang menjadi romusha
sebagai tindakan balas dendam atau rasa tidak suka. Dengan uang pula, seseorang
yang sudah terdaftar sebagai romusha dapat menunjuk orang lain sebagai
penggantinya.
Romusha yang diperkejakan di
proyek-proyek, antara lain pembuatan jalan, jembatan, barak-barak militer,
berlangsung selama satu sampai tiga bulan. Lebih dari tiga bulan merupakan masa
kerja romusha yang
diperkejakan
di proyek-proyek diluar keresidenan mereka. Tidak hanya keluar Jawa, bahkan
eomusha dikirim ke luar Indonesia, seperti Birma, Muang, Tgai, Vietnam dan
Malaysia.
Tidak
sesuai dengan usul yang disampaikan oleh anggota Chuo Sangi In agar para
romusha diperlakukan secara layak, ternyata mereka diperlakukan sangat buruk.
Sejak pagi buta sampai petang hari mereka
dipaksa
melakukan pekerjaan kasar tanpa makan dan perawatan cukup, membuat kondisi
fisik mereka menjadi sangat lemah dan mereka gampir tidak punya sisa kekuatan.
Jika ada diantara mereka yang beristirahat sekalipun hanya sebentar, hal itu
akan mengundang maki-makian dan pukulan-pukulan dari pengawas mereka orang
Jepang. Hanya pada malam hari mereka berkesempatan melepaskan lelah. Dalam
keadaan demikian, mereka tidak punya daya tahan lagi terhadap penyakit. Karena
tidak sempat
memasak
air minum, sedangkan buang air di sembarang tempat, berjangkitnya wabah
disentri, karena tidak dapat menghindari diri dari serangan nyamuk, banyak
diantara mereka yang diserang malaria.
BAB IV
Dampak Tindakan Kekejaman Jepang
Terhadap Kehidupan Rakyat
Danpak
kehadiran dan kekejaman pemerintah militer jepang yang berlangsung tidak lebih
dari empat tahun itu, selain meninggalkan kebencian karena kekejaman dan
kerakusanya juga meninggalkan kenangan positif. Bagai mana mereka di ikut
sertakan dalam kehidupan politik. Struktur birokrasi pemerintahan tidak
didominasi penjajahan seperti halnya zaman belanda. Melainkan untuk
posisi-posis menengah ke bawah di serukan pada rakyat pribumi.
Perkembanggan
yang terjadi menujukan adanya peningkatan kesadaran politik secara
besar-besaran dan keinginan untuk merdeka secara politik. Pemerintah jepang
yang kejam, kasar, dan sewenag-wenang memepngaruhi hampir seluruh penduduk.
Pemerintah jepang membangkitkan kesadaran akan penderitaan masyarakat.
Propaganda
jepang juga memepngaruhi rakyat agar benci terhadap belanda dan sekutu, hanya
sedikit saja berhasil. Usaha menyamakan kepentingan jepang dengan kepentingan
Indonesia sepenuhnya gagal, justu yang terjadi sebaliknya. Keinginan rakyat untuk
merdeka semakin besar, apalagi bagi mereka yang memperoleh posisi yang kuat
berbeda dengan keadaan di zaman penejajahan belanda dahulu
1.
Dampak terhadap Kehidupan Ekonomi
Pendudukan Jepang membawa dampak
yang besar terhadap kehidupan ekonomi Indonesia. Ketika Jepang menduduki
Indonesia, objek-objek vitak alat-alat produksi telah hancur sehingga pada awal
pendudukan Jepang sebagian besar kehidupan ekonomi lumpuh. Pemerintah
pendudukan Jepang mulai mengeluarkan peraturan-peraturan untuk menjalankan roda
ekonomi. Pengawasan terhadap peredaran dan penggunaan sisasisa persedian barang
diperketat. Untuk mencegah meningkatnya harga barang, dikeluarkan peraturan
pengendalian harga dan dijatuhkan hukuman berat bagi pelanggarnya.
Pemerintah Jepang mengembangkan
pola Ekonomi Perang di mana setiap wilayah harus melaksanakan autarki, artinya setiap
daerah harus memenuhi kebutuhannya sendiri dan memenuhi kebutuhan perang.
Tuntutan kebutuhan pangan pada tahun 1942 semakin meningkat. Pengerahan
kebutuhan perang semakin meningkat. Dilancarkanlah kampanye pengerahan dan
penambahan bahan pangan secara besar-besaran. Rakyat dituntut untuk menaikkan
produksi tanaman jarak dan menjadi pekerja romusha.
2.
Dampak terhadap Mobilitas Sosial
Di
samping menguras sumber daya alam, Jepang juga melakukan eksploitasi tenaga
manusia. Puluhan hingga ratusan penduduk dikerahkan untuk kerja paksa guna
membangun sarana dan prasarana perang. Mereka dipaksa bekerja keras sepanjang
hari tanpa diberi upah, makan pun sangat terbatas, sehingga banyak yang
kelaparan, sakit dan meninggal. Untuk mengerahkan tenaga kerja, tiap-tiap desa
dibentuk panitia pengerahan tenaga yang disebut Rumokyokai. Jepang memobilisasi
para pemuda untuk membentuk tentara cadangan, yang diharapkan membantu Jepang
melawan Sekutu.
Pengerahan tenaga di desa-desa,
menimbulkan perubahan sosial yang luas. Para romusha yang berhasil melarikan
diri kembali ke desanya masing-masing membawa pengalaman baru dan membuka
isolasi desa. Pada Januari 1944, Jepang memperkenalkan sistem tonarigumi (rukun
tetangga). Tonarigumi merupakan kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri
dari 10-20 rumah tangga. Sistem tonarigumi ini bertujuan mengawasi aktivitas
penduduk yang dicurigai. Untuk situasi perang, tonarigumi difungsikan untuk
latihan pencegahan bahaya udara, kebakaran, pemberantasan kabar bohong dan
mata-mata musuh.
3.
Dampak dalam Bidang Birokrasi
Setelah Jepang berhasil menguasai
wilayah Indonesia maka Jepang segera membagi wilayah Indonesia, dalam tiga
pemerintahan militer pendudukan sebagai berikut.
a) Wilayah I, meliputi Jawa dan
Madura, yang diperintah oleh angkatan darat yang berpusat di Jakarta (Tentara
Keenam Belas).
b) Wilayah II, meliputi Sumatera
seluruhnya, diperintah oleh angkatan darat yang berpusat di Bukittinggi
(Tentara Kedua Puluh Lima).
c) Wilayah III, meliputi Kalimantan,
Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku yang Diperintah oleh angkatan laut
yang berpusat di Makasar (Armada Selatan Kedua).
Masing–masing ketiga wilayah itu
dipimpin oleh kepala staf tentara/armada dengan gelar gunseikan (kepala
pemerintahan militer) dan kantornya disebut gunseikanbu. Usaha membentuk
pemerintahan militer pendudukan sementara ternyata banyak mengalami kesulitan
karena Jepang kekurangan staf pegawai– pegawainya. Dengan demikian, Jepang
terpaksa mengangkat pegawai dari bangsa Indonesia.
Pada saat pemerintahan sementara
tersebut, orang–orang Indonesia banyak menduduki jabatan– jabatan tinggi. Namun
demikian, pada Agustus 1942 masa pemerintahan militer sementara berakhir.
Jepang telah mengirimkan tenaga pemerintahan sipil ke Indonesia. Sejak itu,
jabatan–jabatan penting yang diduduki oleh orang Indonesia mulai diganti.
Pada pertengahan 1943 kedudukan
Jepang dalam Perang Pasifik mulai terdesak, maka jepang kembali memberi
kesempatan kepada bangsa Indonesia, untuk turut mengambil bagian dalam
pemerintahan. Untuk itu, pada 5 September 1943 Jepang membentuk Badan
Pertimbangan Keresidenan (Syu Sang Kai) dan Badan Pertimbangan Kotapraja
Istimewa (Syi Sang In).
Banyak orang Indonesia yang
menduduki jabatan–jabatan tinggi dalam pemerintahan, antara lain: Prof. Husein
Djajadiningrat sebagai kepala Departemen Urusan Agama, Sutarjo Kartohadikusumo
sebagai kepala pemerintahan (syucokan) di Jakarta, dan R.M.T.A Suria sebagai
kepala pemerintahan (syucokan) di Bojonegoro. Di samping itu ada 7 orang
Indonesia yang menduduki jabatan sebagai penasehat pada pemerintahan militer,
di antaranya: Ir. Soekarno (Departemen Urusan Umum), Mr. Suwandi dan dr. Abdul
Rasyid (Departemen Urusan Dalam Negeri), Prof. Dr. Mr. Supomo (Departemen
Kehakiman), Mochtar bin Prabu Mangkunegara (Departemen Lalu Lintas), Mr. Muh. Yamin
(Departemen Propaganda), dan Prawoto Sumodiloyo (Departemen Ekonomi).
Dengan demikian pendudukan Jepang
di Indonesia membawa dampak yang sangat besar, dalam birokrasi pemerintahan.
Selama zaman Hindia Belanda, jabatan–jabatan penting dalam pemerintahan tidak
pernah diberikan kepada Indonesia.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam makalah
ini maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu :
Ø Tujuan Jepang dating ke Indonesia
adalah untuk mendapatkan dukungan dan mencari kekuasaan di asia
Ø Jepang mempkerja paksakan
orang-orang pribumi yang di sebut (romusa) dengan tidak memberi upah
Ø Jepang menerapkan jenjang
pendidikan formal di Indonesia seperti di negaranya yaitu: SD 6 tahun, SMP 3
tahun dan SMA 3 tahun.
Ø Jepang juga meninggalkan danpak
bagi bangsa Indonesia baik dampak negative maupun dampak positif diantaranya :
a) Dampak terhadap Kehidupan Ekonomi
b) Dampak terhadap Mobilitas Sosial
c) Dampak dalam Bidang Birokrasi
Saran
Dari
makalah ini pembaca telah mengetahui tentang betapa berat perjuangan bangsa
Indonesia dalam mendapat kemerdekaan, jadi sebagai generasi penerus bangsa kita
harus menghargai perjuangan pahlawan kita yang dengan susah payah merebut
kemerdekaan dari penjajah.
semoga bisa bermanfaat baut kalian yang sedang menempuh pendidikan, maupun cuma untuk menambah wawasan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar